Cari Blog Ini

Kamis, 23 Oktober 2014

Saintifik VS Spiritual

Belakangan ini pemerintah lagi gencar-gencarnya melakukan sosialisasi tentang implementasi kurikulum 2013. Kurikulum yang dirancang sebagai trobosan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia yang diharapkan menjadi jawaban atas permasalahan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Pemerintah melalui kebijakannya mewajibkan seluruh sekolah di bawah naungan kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk menerapkan kurikulum 2013. Dalam rangka mendukung kebijakan tersebut, pemerintah juga melakukan program pelatihan yang diadakan untuk memberikan bekal bagi para guru dalam mengimplementasikan kurikulum 2013 tersebut. Namun, pertanyaannya adalah sejauh manakah kurikulum 2013 ini dapat berkontribusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang dengan latar belakang sosial dan budaya masyarakatnya yang tentunya sangatlah berbeda dengan dunia barat?


Kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifiknya adalah produk dunia barat yang coba diadopsi oleh bangsa kita. Tokoh yang sangat terkenal mempelopori munculnya pendekatan saintifik ini adalah August Comte. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan dunia barat tidak terlepas dari keberhasilan mereka menerapkan pendekatan saintifik ini di dunia pendidikan mereka. Pendekatan saintifik ini mampu mendorong negara barat menjadi bangsa yang produktif dan berkuasa dan inilah yang saat ini coba dicontoh oleh Indonesia.

Saintifik berhasil membentuk budaya masyarakat barat dengan keilmiahannya dalam segala bidang dan aspek kehidupan, sehingga hal-hal yang bersifat irasional dan tidak ilmiah menjadi tidak penting. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana menghasilkan sesuatu yang bisa mendatangkan keuntungan bagi mereka dan dapat dijual ke negara-negara berkembang. Apa yang mereka jual tidak serta merta berbentuk barang saja, oleh karena itu bisa jadi pendekatan saintifiknya mereka juga telah menjadi barang dagangan mereka, dan bisa jadi secara tidak langsung Indonesia juga sudah menjadi salah satu pembelinya.

Budaya barat sangatlah berbeda dengan budaya timur yang melekat pada bangsa kita. Pendekatan saintifik pada prinsipnya meletakkan nilai spiritual pada tataran paling bawah dalam sistem kehidupan, karena bagi mereka spiritual tidaklah penting, spiritual dianggap terlalu banyak berkaitan dengan  hal-hal yang tidak ilmiah dan irasional. Sedangkan bangsa kita dengan budaya timurnya menempatkan nilai-nilai spiritual di atas segalanya. Hal ini tentunya menunjukkan perbedaan yang sangat kontras, tetapi yang membuat heran adalah mengapa pemerintah tetap saja mengadopsi pendekatan saintifik ini, padahal jelas-jelas saintifik ini bertentangan dengan budaya kita.

Sehingga tidaklah salah jika ada anggapan yang mengatakan bahwa saintifik dapat mereduksi spiritual. Mungkin hal inilah yang bakalan terjadi pada bangsa kita nantinya, dimana para siswa tidak lagi dibekali dengan nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi pondasi bagi mereka dalam mengembangkan pengetahuannya. Sehingga akan sangat mengherankan jika siswa belajar agama dengan pendekatan saintifik, logikanya sederhana saja apakah mungkin siswa dapat mengenali Tuhannya dengan menggunakan pendekatan ilmiah melalui tahapan mengamati, menanya, mengumpulkan, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan? Tentunya tidaklah mungkin karena Tuhan itu hanya dapat diyakini dengan hati.

Oleh karena itu komitmen pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan perlu dipertanyakan, output yang diinginkan itu sebenarnya apa? Apakah hanya menginginkan SDM kita menjadi SDM yang produktif seperti bangsa barat, tetapi secara tidak langsung mereduksi nilai-nilai spiritual? Hhmmm…. sepertinya gejalanya sudah mulai terlihat.

Tidak ada komentar: